Dunia gaming merupakan bagian yang tidak terpisahkan bagi penggemar pop kultur Jepang, baik game yang berupa game gacha, game multiplayer, ataupun game jenis lainnya. Bermain game merupakan salah satu aktivitas yang umum dilakukan bagi mereka yang aktif di fandom jejepangan.
Namun, ada satu fenomena menarik yang muncul ketika kita membicarakan tentang game: pelabelan game sebagai “game cowok” atau “game cewek”. Industri game telah melahirkan berbagai genre, platform, dan gaya visual yang semakin beragam, tapi ada persepsi tentang siapa yang seharusnya memainkan sebuah game. Hal ini tidak hanya terjadi di game wibu saja, tetapi terjadi juga di game-game yang populer di luar fandom jejepangan.
Baca Juga: Toyota Indonesia Rilis Iklan Bergaya Anime!
Untuk membahas isu tersebut secara lebih mendalam, tim KAORI Nusantara bersama Panitia Chibicon Surabaya kembali mengadakan Forum Anime Indonesia dalam rangkaian acara Chibicon Surabaya Juni 2025. Dalam forum tersebut, sebuah diskusi bertajuk Game Cowok dan Game Cewek: Apakah Mereka Berbeda? dilaksanakan. Selama hampir dua jam, diskusi tersebut tidak hanya membahas stereotip gender dalam gaming, tetapi juga alasan orang bermain game, pendekatan industri terhadap audiens, hingga pergeseran budaya dari masa ke masa. Berikut adalah laporan diskusinya.
Fenomena Pelabelan dalam Dunia Game
Diskusi dibuka dengan pertanyaan utama: Mengapa ada label suatu game itu dikhususkan “untuk cowok”, dan game lainnya “untuk cewek”?
Salah seorang peserta diskusi dari Surabaya, Rizal, mengingat kembali era Facebook Gaming sekitar tahun 2010–2011. Saat itu, permainan seperti Pet Society sering dianggap “game cewek” kerana visualnya yang cute, sementara permainan bertema kekerasan seperti game-game shooter dikonotasikan “game cowok”. Menurutnya, label seperti ini muncul dari fandom yang pertama kali memberikan label-label tersebut. Ada kecenderungan dari fandom suatu game untuk tidak ingin disamakan dengan fandom lain. Biasanya untuk memperlihatkan individualitas mereka, fandom akan melabeli game lain dengan kata-kata yang akhirnya menjadi label. Misalnya melabeli game Nikke sebagai “game bokong“, atau game Love and Deepspace sebagai “game jomok“.
Baca Juga: JKT48 Kembali Berlakukan Sistem Tim
Sedikit sanggahan disampaikan oleh Erika, seorang data analyst pemain yang menyebut dirinya “gamer bunglon”. Menurutnya, perbedaan gender dalam game tidak bisa dilihat dari hal-hal berbau fanservice sebagai “bokong” atau “jomok“. Labeling lebih banyak datang dari media sosial dan cara pemain berinteraksi, serta analisis sentimen pengembang game terhadap pasar mereka.
Salah seorang konten kreator, HazePeachy, melihat isu ini dari perspektif lain. Merujuk pada masa populernya Ragnarok Online, job seperti assassin atau hunter sering diidentikkan dengan pemain lelaki, sementara job support seperti healer dianggap “lebih cocok untuk perempuan”. Namun, dalam praktiknya, banyak pemain lelaki bermain karakter support, sementara banyak perempuan memilih karakter agresif. “Stereotip itu tidak datang dari gamenya, tetapi dari persepsi komunitas,” jelasnya.
Dukungan lebih akademik diberikan oleh seorang peneliti yang turut hadir. Berdasarkan artikel yang pernah ia baca, industri game pada era Sega dan Nintendo tahun 1980-an memang sengaja membidik pasar laki-laki. Anggapan mereka saat itu adalah: perempuan mungkin akan bermain game laki-laki, tapi tidak sebaliknya. Namun seiring waktu dan perkembangan teknologi, pasar tersebut melebur dan semakin tidak terbatas pada gender tertentu.
Mengapa Orang Bermain Game? Antara faktor Fun, Sosial, dan Ekonomi
Titik diskusi beralih kepada alasan seseorang bermain game. Menurut salah seorang peserta diskusi, Bryant, daya tarik permainan seperti Mobile Legends terletak pada skill dan tampilan hero yang cool. Laila mengakui bahwa ia awalnya tertarik pada visual karakter, tetapi alasan itu berkembang menjadi ketertarikan kepada dunia fantasi dan tantangan waktu di dalam permainan.
Ada pula alasan yang sama sekali tidak berkaitan dengan gameplay. Andy Phebe, seorang cosplayer, menyebut bahawa ia memainkan game tertentu untuk mendukung pekerjaannya dalam menjual produk cosplay dan memahami karakter yang ia perankan. Hal serupa disampaikan oleh HazePeachy, yang bermain game karena tuntutan pekerjaan. Sebagai streamer, dia kadang harus memainkan permainan yang tidak ia minati agar tetap relevan dengan teman atau penontonnya.

Pada sisi lain, motivasi pemain juga boleh muncul dari faktor sosial. salah seorang peserta diskusi dari Karawang, Rian, mengaku memainkan Project Sekai bukan hanya kerana karakternya tetapi juga karena ingin “menggarami temannya”. Rizky, seorang streamer Twitch, juga mengaku bermain Infinite Nikki kerana dipengaruhi teman, sebelum akhirnya menikmati unsur gacha-nya. “Gacha-nya menarik karena yang dikumpulkan kostum, bukan karakter,” ujarnya.
Motivasi sosial ini menjadi poin menarik dalam perbincangan diskusi: banyak pemain yang akhirnya mencuba permainan yang sejatinya tidak mereka minati kerana dorongan lingkungan, fandom, atau tren. Konten kreator seperti HazePeachy, Andy Phebe, atau Rizky juga memutuskan bermain game yang labelnya berbeda dengan gender mereka karena “kebutuhan ekonomi”, seperti untuk menarik penonton atau memahami apa yang fans mereka sukai.
Apakah Developer Menargetkan Gender Tertentu? Perspektif dari Game Developer.
Salah satu poin utama diskusi adalah pertanyaan apakah studio game memang menargetkan jenis kelamin tertentu saat membuat game?
Eka dari Mojiken Studio memberikan penjelasan menarik. Menurutnya di Mojiken, gamer tidak bisa dilihat berdasarkan gender, tetapi melalui spektrum warna yang menjadi representasi tipe pemain. Ada pemain “merah” adalah orang-orang yang hobi bermain game action, “kuning” yang mencari pengalaman sosial, “hijau” yang fokus pada perasaan atau naratif, dan sebagainya. “Kalau developer menarget semua orang, biasanya hasilnya malah tidak disukai. Target harus spesifik, tetapi target itu bukan berdasarkan gender,” jelasnya.

Menggunakan warna untuk menjelaskan gamer, alih-alih dengan labeling gender, menjadi salah satu topik bahasan yang menarik. Menurut Myon dari komunitas Atlus Info ID, beberapa game seperti Persona atau Shin Megami Tensei memang menaruh perhatian pada spektrum manusia, tetapi melalui personality dan tema, bukan jenis kelamin pemainnya.
Kepala redaksi KAORI Nusantara, Kevin, mencoba melihatnya melalui pendekatan visual. Menurutnya, pilihan teknik menggambar, penempatan karakter, atau detail tertentu boleh menarik pemain dengan jenis kelamin berbeda, tetapi itu adalah konsekuensi artistik, bukan target disengaja terhadap gender.
Meskipun begitu, Aifa, salah satu peserta diskusi yang berlatar belakang sastra, menyampaikan bahwa ada yang disebut estetika pembaca. Ketika kreator membuat produk dibuat dengan suatu tujuan, tujuan tersebut belum tentu tersampaikan ke konsumen karena perspektif mereka berbeda-beda. Dari sini bisa ada pelabelan, entah itu pelabelan “game cewek cowok”, “game fanservice”, ataupun pelabelan lain.
Kesimpulan: Label Gender dalam Game Semakin Menipis
Fenomena pelabelan dalam fandom memang harus diakui ada. Meskipun begitu, sebuah game tidak dapat serta merta dilabeli “game cowok” dan “game cewek”. Eka selalu pengembang game menegaskan bahawa pemain tidak bisa digeneralisasi. Mereka hadir dalam spektrum preferensi yang luas dan tidak ditentukan oleh gender semata, melainkan oleh pengalaman, latar sosial, dan motivasi personal.
Dari sisi motivasi ini, Andy Phebe mengingatkan faktor penting: geografis. Menurut datanya, karakter yang laku keras di satu kawasan tetapi tidak laku di kawasan lain. Hal ini menunjukkan bahawa pasar lebih ditentukan oleh konteks budaya dan preferensi lokal ketimbang gender pemain.
Menjelang akhir diskusi, para peserta menyimpulkan bahawa penyebab utama lahirnya label “game cowok” dan “game cewek” bukan berasal dari gamenya, tetapi dari komunitas dan fandom. Di sisi lain, diskusi ini menunjukkan bahawa semakin banyak pemain yang tidak lagi peduli dengan label tersebut. Sebaliknya, mereka justru menemukan titik temu dalam kecintaan terhadap game, apa pun bentuk dan genrenya. Seperti kata salah satu peserta, “Pada akhirnya, kita semua hanya ingin bermain game yang kita suka.”
KAORI Nusantara








