Mimpi buruk tentang Perang Dunia II masih terus menghantui tidur Hideo Shimizu. Pria berusia 93 tahun yang tinggal di Miyada, Prefektur Nagano ini sering terbangun di tengah malam dengan perasaan takut. Meski perang telah usai puluhan tahun lalu, bayang-bayang masa lalu itu menolak untuk pergi. Namun, selama 70 tahun, Shimizu memilih untuk memendam mimpi buruk itu sendirian. Ia memegang teguh sumpah rahasia yang dipaksakan kepadanya saat remaja untuk tidak pernah menceritakan apa yang ia lihat.
Pertahanan itu akhirnya runtuh pada Agustus 2015. Saat mengunjungi sebuah pameran peninggalan perang bersama istrinya, Shimizu melihat sebuah foto bangunan bata besar yang sangat ia kenali. Itu adalah markas besar Unit 731 di Harbin, Tiongkok. Di sanalah ia pernah bertugas sebagai bagian dari unit perang biologis paling kejam dalam sejarah Kekaisaran Jepang. Hari itu, ia akhirnya jujur kepada istrinya bahwa ia adalah saksi hidup dari kekejaman di dalam gedung tersebut.
Kisah Awal Shimizu Terjebak sebagai “Teknisi Magang”
Kisah Shimizu bermula pada Maret 1945, sesaat setelah ia lulus dari sekolah dasar tinggi (setara SMP). Mantan gurunya menawarinya pekerjaan di Manchuria dengan iming-iming posisi sebagai “teknisi magang”. Shimizu yang menyukai kerajinan tangan mengira ia akan bekerja di pabrik manufaktur atau membuat peralatan. Bersama tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan lainnya, ia berangkat meninggalkan kampung halamannya.
Perjalanan mereka panjang dan melelahkan. Dari Stasiun Shiojiri di Nagano, mereka menuju Nagoya, selamat dari serangan udara Amerika di Maibara, lalu menyeberang ke Semenanjung Korea hingga akhirnya tiba di Harbin. Di sana, Shimizu dan lebih dari 40 remaja seusianya diangkut menggunakan truk menuju sebuah fasilitas luas di pinggiran kota, tepatnya di Distrik Pingfang. Tidak ada papan nama di gedung tersebut.
Baca juga: Mantan Anggota Unit 731 Masih Dihantui Rasa Bersalah, Malah Dihujat di Negeri Sendiri
Setelah tiba, mereka menjalani pelatihan dasar militer selama 10 hari, termasuk menghafal “Senjinkun” atau kode etik militer yang melarang tentara hidup menanggung malu sebagai tawanan. Shimizu kemudian ditempatkan di “Ruang Praktik Departemen Pendidikan”. Saat diperintahkan mengenakan jas putih laboratorium, barulah ia sadar bahwa ia akan bekerja di bidang medis dan sanitasi, bukan manufaktur seperti yang ia bayangkan.

Tugas Shimizu Membiakkan Bakteri Mematikan
Tugas Shimizu sebagai remaja 14 tahun di sana terdengar sederhana namun berisiko tinggi. Ia diajarkan cara membiakkan bakteri. Salah satu tugas rutinnya adalah mengambil cairan dari anus tikus menggunakan alat yang menyerupai pembersih telinga dari platinum, lalu menanamnya ke media agar-agar dalam cawan petri untuk dikembangbiakkan.
Meskipun dalam tahap pelatihan ia hanya menangani bakteri non-berbahaya, Shimizu mengaku pernah menangani bakteri pes yang dilemahkan. Selain itu, instrukturnya juga memperlihatkan kepadanya berbagai jenis bakteri mematikan lainnya seperti disentri, kolera, dan tifus. Kerahasiaan di tempat itu sangat ketat. Shimizu dilarang keras membicarakan pekerjaannya dengan siapa pun, bahkan dengan teman satu barak yang tidur di sebelahnya.
Horor di “Kamar Spesimen”: Wanita Hamil dan Janin
Pengalaman paling traumatis yang terus menghantuinya terjadi pada suatu hari di bulan Juli 1945. Shimizu dibawa sendirian oleh seorang instruktur menuju “Kamar Spesimen” yang terletak di lantai dua gedung markas utama. Apa yang ia lihat di sana melampaui batas kemanusiaan.
Ruangan itu dipenuhi oleh toples-toples kaca berisi organ tubuh manusia yang direndam dalam formalin. Beberapa toples berukuran setinggi orang dewasa. Di dalamnya terdapat berbagai potongan tubuh, mulai dari kepala, tangan, hingga organ dalam yang membengkak tidak wajar. Instruktur menjelaskan bahwa pembengkakan itu adalah akibat infeksi penyakit tertentu. Label-label pada toples mencantumkan keterangan mengerikan seperti usia korban, serta asal mereka: “Orang Tiongkok” atau “Orang Rusia”.
Namun, pemandangan yang paling mengguncang jiwa Shimizu adalah spesimen seorang wanita hamil. Perut wanita itu telah dibelah lebar-lebar untuk memperlihatkan janin yang ada di dalamnya. Tidak jauh dari situ, terdapat serangkaian toples lain yang berisi janin-janin yang dikeluarkan dari rahim.
“Saya ingat ada sekitar empat toples berisi janin. Mereka disusun berurutan untuk menunjukkan tahap perkembangan bayi, mungkin setiap dua atau tiga bulan kehamilan,” kenang Shimizu dengan suara bergetar.
Ia menyadari bahwa tubuh-tubuh itu adalah milik “Maruta“, istilah yang berarti “kayu gelondongan” dalam bahasa Jepang. Itu adalah sebutan yang tidak memanusiakan bagi para tawanan perang yang dijadikan kelinci percobaan hidup. Meski ingin lari dan muntah, Shimizu terpaku di tempat karena takut dihukum jika membangkang.
Penghilangan Jejak dan Tulang yang Masih Hangat
Menjelang akhir perang, situasi di Unit 731 berubah kacau. Pada 8 Agustus 1945, Uni Soviet menyatakan perang terhadap Jepang. Malam itu, pesawat Soviet menjatuhkan suar yang membuat langit malam terang benderang seperti siang hari. Keesokan paginya, perintah pemusnahan bukti turun.
Pada tanggal 12 Agustus 1945, Shimizu menerima perintah yang tidak kalah mengerikan. Ia disuruh memungut tulang-belulang para Maruta yang telah dieksekusi massal. Sebuah lubang besar digali di halaman tengah dekat penjara Gedung 7 dan 8. Di sanalah ratusan tawanan dibakar.
Baca juga: Tiongkok Bikin Film Tentang Unit 731, Siap Dirilis Juli 2025
“Tulang-tulang itu sudah tidak ada apinya, tapi masih terasa hangat saat disentuh. Warnanya putih,” ujar Shimizu. Ia juga diperintahkan untuk memasang bahan peledak di sel-sel penjara tersebut. Saat masuk ke dalam sel untuk meletakkan bom, ia melihat dinding-dinding penjara penuh dengan tulisan darah. Itu adalah pesan terakhir atau surat wasiat dari para korban, tertulis dalam huruf Kanji dan huruf Kiril (Rusia).
Fasilitas itu kemudian diledakkan hingga hancur. Berbeda dengan kamp konsentrasi Auschwitz di Jerman di mana masih ada penyintas yang bisa bersaksi, Unit 731 memastikan tidak ada satu pun Maruta yang selamat untuk menceritakan kisah mereka.

Sumpah Bungkam dan Penyesalan Abadi
Saat proses evakuasi dan pemulangan ke Jepang, Shimizu diberikan racun sianida. Ia diperintahkan untuk bunuh diri jika tertangkap oleh tentara musuh. Ia juga mendengar kabar bahwa seorang seniornya yang menderita usus buntu “dibereskan” dengan suntikan racun karena dianggap membebani proses evakuasi.
Setibanya di Jepang, Shimizu diikat oleh tiga sumpah ketat: Menyembunyikan riwayat militernya, tidak boleh memegang jabatan publik, dan dilarang menghubungi sesama anggota unit. Ia mematuhi sumpah itu selama puluhan tahun, bekerja sebagai tukang kayu dan arsitek, serta membangun keluarga.
Namun, rasa bersalah itu tidak pernah hilang. Melihat cucu dan cicitnya yang tumbuh sehat justru memicu ingatan akan janin-janin dalam toples yang ia lihat di Harbin. Kini, di sisa usianya, Shimizu memutuskan untuk bersaksi. Ia berharap dengan mengungkap kebenaran yang mengerikan ini, sejarah kelam eksperimen manusia tersebut tidak akan pernah terulang kembali.










